Tahukah Anda bahwa ternyata industri rokok kretek mampu menjadi penopang ekonomi di zaman Belanda saat Hindia Belanda mengalami krisis Malaise pada tahun 1930-an. Saat itu semua industri milik Belanda seperti gula mengalami kebangkrutan. Sementara itu industri rokok kretek bertahan. Itu disebabkan karena industri rokok kretek dikonsumsi penduduk pribumi dan dikelola para saudagar-saudagar pribumi. Industri kretek sebagian besar berbasis di desa sebagai industri rumahan. Meski begitu, industri ini mampu berkembang sangat pesat. Industri kretek pula sangat menguntungkan bagi pihak pribumi, mengapa? Karena dari hulu ke hilir, industri ini dimiliki sebagian besar oleh penduduk pribumi yang bahan bakunya pula disediakan semua dari pihak pribumi yang sebagian besar masih eksis hingga masa reformasi saat ini. Tetapi kita tidak akan menemukan orang pribumi yang menjadi direktur perusahaan-perusahaan besar saat itu. Selain itu industri kretek juga ikut membangun jaringan ekonomi yang sangat luas. Banyak yang menggantungkan hidupnya dari industri kretek, mulai pemilik toko, asongan, warung-warung, dan pekerja industri rokok.
Lebih dari itu, kretek sebagai warisan budaya Indonesia mempunyai ciri khas pada rasa dan aromanya. Keunikan inilah yang bisa mengategorikan kretek sebagai warisan budaya. Sayangnya selama ini kretek selalu dikaitkan dengan kesehatan, kebijakan politik, sampai hubungannya dengan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Namun sangat jarang yang mengkaji kretek dari sisi historis. Padahal ramuan dalam setiap merek diwariskan secara turun-temurun, sehingga masing – masing merek tersbut mempunyai nilai historis yang kuat karena pastinya tiap ramuan mempunya latar belakang yang beda dan bisa dijadikan sebagai media pembelajaran sejarah.
Apa itu Kretek?
Kretek adalah rokok yang terbuat dari campuran tembakau dan cengkeh. Kata “kretek” sendiri berasal dari bunyi gemeretak cengkeh yang timbul ketika rokok dibakar.
Tembakau telah hadir di Indonesia sejak 1600-an ketika tembakau dibawa ke pulau Jawa oleh pedagang dari Portugis. Tembakau (tembako dalam bahasa Jawa) secara fonologis lebih dekat dengan kata “tumbaco” dalam bahasa Portugis.
Pada awalnya, rokok di Indonesia hanya dibuat di rumah, dilinting dan dibungkus dengan kulit jagung. Tidak sampai akhir abad ke-19 orang-orang mulai menambahkan cengkeh untuk rokok mereka. Tren ini berlangsung cepat dalam beberapa tahun kemudian dimana rokok kretek mulai diproduksi secara komersial. Orang yang diyakini pertama kali mencampurkan cengkeh ke dalam rokok adalah Haji Jamhari, seorang warga Kudus. Ia mulai memproduksi dan memasarkan penemuannya. Dengan meningkatnya popularitas kretek, berbagai industri rumahan turut menjamur memproduksi rokok kretek.
Awal produksi massal
Haji Jamhari wafat sebelum era produksi massal dari rokok kretek. Hal ini justru diteruskan oleh seorang warga Kudus yang lain, yaitu Nitisemito. Ia mengubah industri rumahan tersebut menjadi produksi massal melalui dua cara. Pertama, ia menciptakan mereknya sendiri, yaitu Bal Tiga, dan membangun citra merek tersebut. Pengembangan label-label produknya dicetaknya di Jepang dan berbagai hadiah diberikan secara cuma-cuma kepada perokok setianya bila mereka menyerahkan bungkus kosong produknya. Kedua, ia mulai mengerjakan berbagai tugas melalui subkontrak. Misalnya ada pihak yang menangani para pekerja, sedangkan Nitisemito menyediakan tembakau, cengkeh dan sausnya. Praktik bisnis seperti ini cepat diadopsi oleh pabrik rokok kretek yang lain dan berlanjut hingga pertengahan abad ke-20, ketika perusahaan-perusahaan mulai merekrut para karyawan sendiri untuk menjamin kualitas dan loyalitas.
Pada era 1960-an, konsumsi kretek mandek dibandingkan rokok putih, karena dianggap memberikan para perokoknya citra yang lebih prestisius. Namun pada era 70-an, industri kretek mengalami revolusi, sehingga kretek dapat berjaya hingga hari ini.
Pada pertengahan 70-an, kondisi ekonomi yang meningkat menarik investasi luar negeri ke Indonesia. Pemerintah menginvestasikan arus masuk uang ini untuk mengembangkan industri pribumi, dan menawarkan pinjaman berbunga rendah kepada produsen rokok kretek.
Rokok kretek buatan mesin juga pertama kali muncul pada era ini, sehingga pembuatan kretek dapat diotomatisasi. Bentuk dan ukuran rokok kretek jenis baru yang seragam ini menjadi kesukaan kalangan atas, dan pada akhir 70-an, rokok kretek telah bersaing langsung dengan merek luar negeri.
Akhirnya, kebijakan transmigrasi pemerintah pada era 70-an turut memastikan bahwa rokok kretek tersebar ke seluruh penjuru nusantara. Transmigrasi yang bertujuan untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa dengan memindahkan masyarakat ke pulau-pulau lain ini mendorong perusahaan kretek untuk memperluas distribusinya.
sumber : kaskus.com , Hanusz, Mark. Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, Singapore: Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. (2000)
0 Comments:
Post a Comment